Baca-baca tentang artikel Petualangan Mendaki Gunung, ehh ketemu artikel dari
Phinemo!, ya sudah ngak nunggu lama lagi, sok nihh cerita di tulisannya dan poto-poto dari artikel tersebut juga ane upload dsini, tapi tambah poto ane dan kawan2 juga, heheh... sok nikmatin aja bacanya sampe abis+dtemani sihitam manis [kopi]..
Baca-baca Phinemo ketemu tulisan Umu Umaedah “
7 Pertanyaan untuk para Pendaki Gunung”.
Halo Umu, saya jawab versi saya yang baru mendaki beberapa kali dan
kebetulan kita sama-sama cewek jadi saya paham dengan pemikiran kamu
tentang mendaki.
Mendaki itu belajar susah. Jalan kaki berkilo-kilo meter dengan beban
di punggung, jalannya pun bukan jalan biasa, tanjakan; menghabiskan
waktu lebih dari sehari; tidur di tenda sempit ala kadarnya; suhu yang
dingin; kadang harus diterpa hujan badai; air terbatas; buang hajat pun
susah. Pulangnya? Capek sekujur tubuh, betis membengkak, muka menghitam
bahkan sampai mengelupas.
Tapi kenapa masih mendaki? Ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bikin kamu penasaran tentang pendaki.
1. Mengapa harus mendaki gunung?
Mamaku juga bertanya seperti itu, “kenapa harus gunung? Masih banyak tempat lain untuk
refreshing“.
Kalo Umu bilang di gunung istilahnya hanya menumpang tidur dengan
suasana berbeda? Bener banget, numpang tidur dengan kondisi dan suasana
jauh berbeda dengan nyamannya kasur di kamar.
Buang air menyulitkan? Iya, sangat, terlebih untuk
cewek. Ini bagian paling tidak saya suka kalau di gunung, terutama buang
air besar. Tapi ya mau gimana lagi, nikmati saja kalau waktunya datang.
Tidak semua cewek pasti mau mengalami hal seperti ini, apalagi yang
terkenal “bersih”, buang hajat tanpa kakus dan air pasti terbayang
jijik, belum lagi khawatir kalau ada yang tiba-tiba lewat, jangan-jangan
batal naik gunung gara-gara terlalu memikirkan ini.
Layaknya pantai, taman hiburan,
mall, kebun binatang,
bioskop, Dufan yang jadi destinasi untuk liburan, kami memilih gunung
untuk destinasi yang lebih disukai. Diantara pilihan tersebut, pasti ada
salah satu yang lebih kamu suka kan dibanding yang lain?
2. Apa yang kamu cari di gunung?
Ya, memang di gunung tak ada taman rekreasi, tidak ada minimarket, mall, ataupun tempat nongkrong.
"Gunung mengajarkan kami bahwa setiap sesuatu itu berharga dan kita
sering lupa karena di kehidupan kita yang normal itu semuanya serba ada."
Misal, air. Di suatu perjalanan kami di Merbabu kami kehabisan air, bahkan air bercampur belerang yang rasanya asam-asam
gimana
itu pun habis. Di rumah? Mau mandi berember-ember pun kita tak sadar
dan tak akan kepikiran bagaimana kalau seandainya tidak ada air.
Di gunung itu serba tidak ada, menyadarkan kita bagaimana berharganya
yang ada itu: nyamannya kasur di kamar yang empuk itu, bahagianya punya
wc yang tiap habis dari wc selalu
ploong, lampu-lampu yang bikin malam tidak gelap.
3. Apa yang membuatmu begitu termotivasi dan antusias untuk selalu melakukan pendakian?
Apakah foto-foto yang berseliweran di sosial media membuatmu ingin menirunya? Foto-foto yang indah-indah itu tentu menggiurkan.
Pergi ke gunung untuk melarikan diri dari masalah?
Kita tentu paham masalah cuma akan hilang kalau diselesaikan, melarikan
diri kemanapun tetap tak akan hilang. Mungkin bukan melarikan diri, tapi
menenangkan diri atau mencari inspirasi. Ya lain hal kalau masalahnya
ada untuk dilupakan, misalnya: naik gunung karena putus cinta supaya
lupa sedihnya. Siapa tahu di gunung ketemu jodoh jadi lupa kalau lagi
patah hati,
ups.
Apa yang membuat begitu termotivasi dan antusias?
Ah, ini soal perasaan. Perasaan yang mengalahkan semua hal tentang
tidak enaknya mendaki. Saya bilang mendaki gunung itu layaknya mencari
rindu.
Di kos saya hanya makan mie instan hanya jika benar-benar ingin dan
itu cukup jarang, tapi sampai puncak gunung dengan baju basah keringat
perut keroncongan, supe*mi rasa ayam bawang dengan telur setengah mateng
itu istimewa! Ini namanya mencari rindu, rindu mie instan.
Pernah juga diberi pendaki lain
cookies satu
piece saat dingin badai dan tak punya
snack apapun saat perjalanan ke puncak, rasanya… senang banget! Dalam hati langsung bilang,
“turun nanti pokoknya harus beli cookies, yang kayak gini”. Padahal kalau di kos, meski punya
cookies berbulan-bulan tetap saja cuma teronggok di atas meja.
4. Menaklukan berbagai puncak gunung, seperti apa rasanya?
Foto-fotomu di banyak gunung dipampang dengan jelas dengan caption ‘… MDPL. Kamu kapan ke sini?’ Haha, saya punya foto sejenis seperti yang kamu bilang ini lo, Umu.
Bangga? Kamu harus tahu tidak semua pendakian itu akan selalu mendapat panorama terbaik: lautan awan yang mempesona,
sunrise
yang tak akan kamu temui seindah di sana, hijaunya padang rumput yang
bikin betah, atau bunga edelweiss yang bermekaran. Ada kalanya kita
harus diterpa hujan deras, kabut tebal nan dingin, juga badai. Lupakan
soal foto, bertahan untuk melewatinya itu yang lebih bikin bangga.
Ada ribuan orang yang sudah sampai puncak yang sama. Ada ribuan orang
lagi yang sudah sampai puncak-puncak gunung lain. Daripada bangga, saya
jauh lebih merasa bahagia karena ada tempat yang belum pernah saya
lihat, akhirnya langkah kakiku berhenti di sana.
5. Apakah tiap pendakian harus mencapai puncak?
Walau beberapa kali mendaki saya selalu sampai puncak, tapi puncak
bukanlah harga mati. Kamu sendiri yang paling tahu apakah kamu sanggup
atau tidak?. Teman-teman pendakian ada untuk memotivasi kita, dan
biasanya selalu berhasil membuat kita untuk tak menyerah.
Pendakian sepertinya sangat melelahkan? Benar.
Selain mendaki, tidak pernah saya merasakan selelah mendaki yang bikin
dua hari “hibernasi”, kaki yang rasanya kalau bisa ingin saya copot dulu
sementara karena saking pegalnya, muka jadi hitam dan kadang mengelupas
karena suhu yang ekstrim.
Apa itu sepadan dengan yang didapat di puncak?
Nampaknya saya harus menggunakan kalimat sejuta pendaki untuk pertanyaan
ini “Rasakan sendiri, maka kau akan tahu nikmatnya mendaki”. Kalau
belum merasakan nikmatnya mendaki pasti selalu berpikiran jika mendaki
itu banyak ruginya daripada untungnya. Tapi nyatanya saya selalu
ketagihan mendaki, bahkan saya rindu berpeluh-peluh dengan langkah yang
tinggal perlahan-lahan.
6. Foto atau nyawa?
Berfoto di tempat-tempat berbahaya di gunung demi eksistensi diri di
sosial media namun beresiko celaka atau pulang dengan selamat meski
hanya dengan foto-foto yang biasa saja?
Jawaban saya: sebagian besar pendaki tidak menjadikan puncak sebagai
tujuan, melainkan pulang dengan selamat. Jadi kamu tahukan apa yang kami
pilih?
7. Apakah rumahmu tidak lebih hangat?
“Karena untuk menjadi seorang petualang tidak harus selalu keluar dari rumah”. Saya bingung dengan pernyataan ini, Umu. Petualangan bagaimana yang dilakukan di dalam rumah?
Apa kamu pikir mereka yang tinggal di rumah memiliki pengetahuan yang
cetek dan tidak menikmati hidup? Pengetahuan mungkin tidak, teknologi
yang begitu maju sekarang ini mempermudah kita untuk belajar dimana
saja, tapi pengalaman jelas iya, dunia ini luas maka keluarlah dari
rumahmu. Banyak interaksi yang harus kamu lakukan, banyak pengalaman
yang akan kamu dapatkan.
Belum pernah kan dikasih air 1500 ml oleh orang asing, padahal saat
itu tidak ada sumber air dan sama-sama membutuhkannya? Keluarlah! Masih
ada orang baik di luar sana yang hatinya mengajarkan kita untuk berbagi.
Belum pernah kan lihat
penambang belerang
yang naik ke puncak gunung memikul gerobak kayu dan turun menarik
gerobak berisi berkilo-kilo gram belerang? Keluarlah! Ternyata ada orang
yang lebih tidak beruntung yang mengajarkan kita untuk lebih bersyukur.
Tidak jadi soal kemana tujuanmu, meski itu bukan gunung, keluarlah!.
Kunjungi tempat-tempat yang belum pernah kamu lihat.
Rumah akan selalu jadi tempat paling hangat, selalu jadi tempat
pulang. Kadang kita harus keluar meninggalkannya, mencari rindu, agar
tahu bahagianya pulang.
sampai disini dulu ya coretan artikel yang ane copas dari teman sebelah, semoga bermanfaat.
Lestariiiii.... Salam Rimba !